METROSERGAI.COM, Sergai — Kasus yang menimpa Selamet, seorang penjual kerupuk opak asal Serdang Bedagai, akhirnya mencapai titik terang setelah ia dinyatakan bebas oleh Pengadilan Tinggi Medan.
Namun, kebebasan itu tidak datang tanpa polemik. Selamet sempat ditahan selama tiga hari pasca putusan bebasnya, tanpa dasar hukum yang sah, akibat dugaan kelalaian dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Serdang Bedagai.
Pada Kamis, 17 Juli 2025, tim kuasa hukum dari DSP Law Firm menjemput Selamet dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I-A Tanjung Gusta, Medan. Ia sebelumnya dituntut dalam perkara kredit macet, namun oleh Pengadilan Tinggi Medan diputus dengan vonis onslag van rechtsvervolging, yakni perbuatannya terbukti dilakukan, tetapi bukan merupakan tindak pidana.
Tiga Hari Terlambat Bebas, Jaksa Dinilai Lalai
Putusan onslag terhadap Selamet telah tercantum di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Medan sejak 14 Juli 2025. Namun, hingga 17 Juli, ia masih mendekam di tahanan. Tim kuasa hukum yang mengetahui keputusan itu lalu mendatangi PN Medan untuk meminta salinan putusan, namun hanya memperoleh print-out dari SIPP.
Bermodalkan dokumen tersebut, tim pengacara menuju Rutan Tanjung Gusta. Pihak Rutan enggan melepaskan Selamet tanpa surat eksekusi resmi dari jaksa. Tim kuasa hukum pun menghubungi salah satu jaksa penuntut umum (JPU), Imam Darmono, S.H., namun ia menyatakan belum menerima petikan putusan sehingga belum bisa mengeksekusi pembebasan.
Upaya menghubungi Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Serdang Bedagai pun mengalami kendala. Tim kuasa hukum mengaku menghubungi hingga 18 kali, namun tak mendapat respons. Situasi baru mencair setelah pihak Rutan, yang tak ingin menanggung risiko hukum atas penahanan tidak sah, berinisiatif menghubungi pihak Kejari.
Barulah pada malam harinya, sekitar pukul 19.00 WIB, perwakilan Kejari datang ke Rutan untuk mengeksekusi pembebasan. Selamet akhirnya keluar dari tahanan pukul 20.00 WIB.
Tim Kuasa Hukum: Ini Pelanggaran HAM
Kuasa hukum Selamet mengecam tindakan Kejari Serdang Bedagai yang dinilai lalai dan tidak profesional. Mereka menilai bahwa penundaan pembebasan selama tiga hari pasca putusan bebas merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
“Ketika menahan orang, jaksa begitu cepat. Tapi saat terdakwa dibebaskan, malah berdalih persoalan administrasi, padahal sudah ada putusan pengadilan,” kata salah satu anggota tim kuasa hukum.
Mereka menyebut bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil. Selain itu, Pasal 92 KUHAP juga mengatur bahwa penahanan tanpa dasar hukum yang sah dapat digugat melalui tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi.
Tuntut Evaluasi dan Transparansi
Tim kuasa hukum mendesak Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung RI dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Kejari Serdang Bedagai, khususnya terhadap Kasipidsus yang dinilai tidak menjalankan tugasnya secara profesional.
Mereka juga mempertanyakan ketimpangan penegakan hukum. Dalam kasus Selamet, jaksa menuntut hukuman berat, sementara dalam kasus serupa yang melibatkan mantan pimpinan Bank Sumut Cabang Sei Rampah, tuntutannya hanya 24 bulan.
Selain itu, tim kuasa hukum juga menyoroti belum adanya penetapan tersangka terhadap oknum notaris yang menerbitkan covernote tidak faktual, serta KJPP dan analis keuangan yang dinilai merekayasa laporan. “Ada apa dengan Kejari Serdang Bedagai?” tanya mereka.
Kejari Sergai: Belum Terima Petikan Putusan
Saat dikonfirmasi pada 17 Juli 2025 pukul 18.02 WIB, pihak Kejari Serdang Bedagai menyatakan bahwa mereka belum menerima petikan resmi putusan dari Pengadilan Tinggi Medan, sehingga belum bisa mengeksekusi pembebasan.
Namun, tim kuasa hukum menyatakan alasan tersebut tidak bisa diterima, karena relas putusan bisa diakses lebih awal melalui SIPP dan seharusnya segera ditindaklanjuti untuk menghindari pelanggaran hak tahanan.
Tim kuasa hukum berharap agar kasus ini dievaluasi secara menyeluruh dan disampaikan secara terbuka kepada publik, agar prinsip keadilan dan perlindungan hukum tidak hanya menjadi slogan semata. (win)