Dr. Alpi menekankan bahwa meskipun motif bukan bagian dari unsur delik atau syarat utama pembuktian dalam tindak pidana, ia tetap dapat dijadikan indikator penting dalam menilai bobot dari sebuah perbuatan pidana.
Dalam ajaran hukum pidana klasik, motif berbeda dengan kehendak yang disebut sebagai willes en weten yang menjadi dasar dari kesengajaan dalam unsur kesalahan pidana.
“Kesengajaan sebagai bentuk kesalahan tidak mensyaratkan adanya motif.
Namun, motif bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah seseorang layak mendapatkan keringanan atau justru pemberatan hukuman.
Hal ini sesuai dengan teori kesalahan deskriptif-normatif yang diajarkan Pompe, di mana kesalahan dipahami sebagai pelanggaran terhadap norma hukum, bukan semata-mata faktor psikologis pelaku,” terang Dr. Alpi.
Ia juga menyitir pandangan Prof. Mulyatno dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Pidana di UGM pada 1955, yang membedakan secara tegas antara kesalahan psikologis dan kesalahan hukum dalam konteks pertanggungjawaban pidana.
Dari sisi teknis penegakan hukum, keberhasilan Polda Sumut dalam mengungkap pelaku penganiayaan ini.
Menunjukkan pentingnya fondasi konstitusional dan pemahaman akan konsep Kamtibmas, Kamdagri, serta prinsip Pro Justisia yang tercantum dalam KUHAP.
Polisi sebagai institusi prime mover dalam masyarakat dituntut bukan hanya bertindak cepat, tetapi juga akuntabel dan transparan dua hal yang dibuktikan nyata dalam kasus ini.
“Polri telah menunjukkan bahwa mereka bukan hanya pelindung dan pengayom masyarakat, tapi juga institusi penegak hukum yang profesional di tengah berbagai tantangan dan sorotan publik,” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Dr. Alpi menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas kinerja Polda Sumut.
“Terima kasih kepada Kapolda Sumut, Wakapolda, dan seluruh personel Subdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Sumut.
Kerja cepat dan cerdas kalian membuktikan bahwa kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum bisa terus diperkuat dengan tindakan nyata, bukan sekadar slogan.(mps)