Religi

π—­π—œπ—‘π—” π— π—˜π—‘π—šπ—¨π—‘π——π—”π—‘π—š π—•π—˜π—‘π—–π—”π—‘π—”

×

π—­π—œπ—‘π—” π— π—˜π—‘π—šπ—¨π—‘π——π—”π—‘π—š π—•π—˜π—‘π—–π—”π—‘π—”

Sebarkan artikel ini
Ist

π™Žπ™€π™‘π™ͺπ™¨π™ž 𝙄𝙨𝙑𝙖𝙒
Peningkatan penularan penyakit menular seksual (PMS) adalah imbas dari sistem sekuler-liberal yang telah lama diterapkan di negeri ini. Sekulerisme menyingkirkan aturan-aturan agama, termasuk aturan yang mengharamkan perzinaan dan penyimpangan perilaku seksual. Liberalisme memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan, termasuk perzinaan dan penyimpangan perilaku seksual.
Karena itu tidak tepat jika yang ditangani hanya persoalan PMS. Sebabnya, akar persoalannya adalah sistem sekuler-liberal yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini harus dihapus dan digantikan dengan sistem Islam. Hanya Islam satu-satunya ideologi/sistem yang mampu memelihara kehormatan dan kehidupan manusia. Dalam sistem Islam, solusi atas persoalan di atas, antara lain:
Pertama, negara mendidik masyarakat agar menjadi pribadi-pribadi beriman dan bertakwa. Baik pria maupun wanita sama-sama wajib menjaga diri dengan sifat ’iffah seperti ghaddul bashar (menjaga pandangan), menutup aurat dan menjaga diri dari dosa zina.
Kedua, negara mendorong para pemuda untuk menyegerakan pernikahan. Hanya saja, hari ini banyak pemuda kesulitan menikah, di antaranya karena tekanan ekonomi. Sayangnya, negara cenderung abai terhadap kebutuhan para pemuda untuk berumah tangga ini. Kesulitan ekonomi hari ini disebabkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalisme oleh negara. Sistem ini terbukti menciptakan kesenjangan ekonomi dan kemiskinan struktural. Akibatnya, banyak pemuda sulit mendapatkan nafkah yang layak untuk berumah tangga. Karena itu negara harus mengganti sistem ekonomi batil ini dengan sistem ekonomi Islam. Dengan itu akan tercipta ekonomi yang berkeadilan dan jaminan hidup bagi masyarakat.
Ketiga, untuk memelihara keluarga agar tetap harmonis, maka keluarga dan negara wajib mengedukasi para pemuda agar mempunyai bekal ilmu menuju pernikahan. Dengan itu pasangan suami-istri terhindar dari konflik dalam rumah tangga dan jauh dari perceraian.
Keempat, negara melarang berbagai aktivitas yang membuka peluang perzinaan seperti khalwat, ikhtilaath (campur-baur) yang terlarang antara pria dan wanita seperti di pesta-pesta, klab malam, serta berbagai hal yang menciptakan dorongan seksual semisal konten pornografi dan pornoaksi, dsb.
Kelima, negara menjatuhkan sanksi yang tegas sesuai syariah Islam atas pelaku perzinaan dan penyimpangan seksual semisal gay, lesbian, pedofil, dsb. Para pelaku zina yang masih lajang (ghayr muhshan) dihukum dengan 100 kali cambukan. Para pelaku zina yang telah menikah (muhshan) dihukum rajam hingga mati. Kaum gay dihukum mati. Dalam penerapan hukuman ini negara tidak perlu menunggu delik aduan dari pihak manapun. Selama ada pembuktian sesuai syariah Islam maka pengadilan dapat menjatuhkan sanksi tersebut. Adanya empat orang saksi pria yang menyaksikan perbuatan zina, atau adanya pengakuan dari pelaku, sudah cukup bagi negara untuk menjatuhkan sanksi tersebut.
Keenam, negara mengobati para penderita penyakit menular seksual seperti sifilis dan HIV/AIDS agar tidak menjadi wabah yang menular luas di tengah masyarakat. Para istri yang mengetahui suaminya mengidap penyakit berbahaya ini diberi hak oleh syariah Islam untuk mengajukan gugat cerai kepada suaminya.
Keseluruhan solusi tersebut tidak mungkin diterapkan dalam sistem sekuler-liberal seperti saat ini. Solusi tersebut hanya bisa diberlakukan dengan penerapan hukum-hukum Islam secara kaaffah. Penerapan syariah Islam secara kaaffah hanya mungkin dijalankan saat umat hidup dalam naungan Khilafah. Inilah kewajiban dan keniscayaan secara agama dan realita. Tanpa itu, mustahil persoalan ini dapat diselesaikan.
WalLaahu a’lam bi ash-sawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *