Religi

Meugang: Tradisi Kuliner Aceh yang Sarat Makna Sosial dan Religius

×

Meugang: Tradisi Kuliner Aceh yang Sarat Makna Sosial dan Religius

Sebarkan artikel ini

METROSERGAI.com – Aceh dikenal sebagai daerah dengan tradisi dan budaya Islam yang kuat, salah satunya adalah Meugang.

Tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, terutama menjelang Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Meugang bukan sekadar momen menikmati daging bersama keluarga, tetapi juga mencerminkan rasa syukur, kebersamaan, serta kepedulian sosial yang tinggi.

Sejarah dan Makna Tradisi Meugang

Meugang memiliki akar sejarah yang panjang, diperkirakan telah ada sejak masa Kesultanan Aceh.

Kala itu, para sultan membagikan daging kepada rakyat sebagai bentuk perhatian dan kepedulian kepada masyarakat.

Seiring waktu, tradisi ini tetap lestari dan menjadi bagian dari identitas masyarakat Aceh.

Lebih dari sekadar menikmati hidangan berbahan dasar daging, Meugang melambangkan solidaritas dan kebersamaan.

Dalam tradisi ini, orang-orang yang mampu akan membeli daging dalam jumlah lebih dan berbagi dengan tetangga atau masyarakat kurang mampu.

Hal ini menjadikan Meugang sebagai salah satu simbol gotong royong dan kepedulian sosial dalam budaya Aceh.

Pasar Meugang: Meriahnya Persiapan Menjelang Hari Besar

Menjelang Meugang, pasar-pasar di seluruh Aceh akan dipadati pembeli yang berburu daging.

Permintaan yang tinggi sering kali membuat harga daging melonjak drastis, tetapi masyarakat tetap berusaha membelinya sebagai bagian dari tradisi.

Bagi masyarakat Aceh, Meugang bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang menjaga warisan budaya yang sudah berlangsung turun-temurun.

Di rumah-rumah, para ibu sibuk memasak hidangan khas berbahan dasar daging, seperti kari daging, rendang Aceh, gulai, atau masakan berbumbu khas lainnya.

Hidangan ini kemudian disantap bersama keluarga besar dalam suasana penuh kebersamaan.

Kebersamaan dan Kepedulian Sosial dalam Meugang

Salah satu aspek paling menarik dari Meugang adalah nilai sosialnya yang tinggi. Bagi masyarakat Aceh, tidak ada yang boleh merasa tertinggal dalam perayaan ini.

Jika ada tetangga atau kerabat yang tidak mampu membeli daging, biasanya mereka akan diberikan oleh orang-orang yang lebih mampu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *